Merupakan perkara yang sering kita dapati di masjid-masjid orang-orang yang mengaku bermadzhab syafi’iyyah adalah berdzikir dengan keras, baik sebelum adzan, atau sesudah adzan sambil menunggu ditegakan sholat, demikian juga dzikir dan do’a berjama’ah setelah sholat fardu dengan suara yang keras.
Tentunya hal ini –terutama dzikir yang keras setelah adzan sambil menunggu sholat- sangatlah mengganggu orang-orang yang mungkin sedang sholat sunnah, atau sedang membaca Al-Qur’an atau sedang berdoa atau sedang berdzikir sendiri.
Demikian juga kita sering melihat pengingkaran yang muncul dari para jama’ah sholat tersebut tatkala ada seseorang yang berdzikir sendiri dengan suara yang pelan…, seakan-akan orang tersebut telah menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam..???, bahkan seakan-akan orang tersebut telah melakukan bid’ah dengan membawa ajaran baru karena menyelisihi jama’ah sholat yang berdzikir dengan keras tersebut !!!.
Lantas bagaiamanakah petunjuk Al-Imam Asy-Syafi’i dalam berdzikir dan berdoa setelah sholat fardlu? Apakah dengan dikeraskan dan dikerjakan secara berjama’ah??!
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai sholat. Hendaklah mereka memelankan (secara sir) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka ketika itu dzikir dikeraskanlah, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut-pen), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya” (QS Al-Isroo’ : 110) (Al-Umm 2/288).
Yaitu –wallahu A’lam- tatkala berdoa, “Dan janganlah engkau keraskan suaramu” yaitu “Jangan kau angkat suaramu”, dan “Janganlah engkau merendahkannya” sehingga engkau sendiri tidak mendengar”
Adapun mengenai hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi terdengar suara dzikirnya maka Imam Syafi’i menjelaskan seperti berikut:
Menurutku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan (dzikir) sedikit agar orang-orang bisa belajar dari beliau. Kerana kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil dan takbir. Kadang-kala riwayat menyebut Nabi berdzikir selepas solat seperti yang aku nyatakan, kadang-kala disebut bahwa Nabi pergi tanpa berdzikir. Ummu Salamah menyebutkan bahwa Nabi selepas sholat menetap di tempat sholatnya akan tetapi tidak menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan jahr (keras). Aku rasa beliau tidaklah menetap kecuali untuk berdzikir dengan dzikir yang tidak dikeraskan/dijaharkan.
Jika seseorang berkata: “Seperti apa?” (maksudnya permasalahan ini seperti permasalahan apa yang lain?-pen). Aku katakan, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersolat di atas mimbar, dimana beliau berdiri dan rukuk di atasnya, kemudian beliau mundur belakang untuk sujud di atas tanah. Nabi tidaklah solat di atas mimbar pada kebanyakan usia beliau. Akan tetapi menurutku beliau ingin agar orang yang jauh yang tidak melihat beliau, dapat mengetahui bagaimana cara berdiri (dalam sholat), rukuk dan bangun (dari rukuk). Beliau ingin mengajarkan mereka keluasan dalam itu semua.
Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di tempat duduknya sebentar dengan kadar hingga perginya jama’ah wanita sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah. Kemudian imam boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu, atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum boleh pergi setelah imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia tunda/akhirkan sehingga imam pergi, atau ia pergi bersama imam, maka itu lebih aku sukai untuknya. ” (Al-Umm 2/288-289)
Perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah di atas juga dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab (3/468-469), setelah itu Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
“Al-Baihaqi dan yang lainnya berhujjah untuk tafsiran (yang disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i-pen) dengan hadits Aisyah semoga Allah meridhoinya, beliau berkata tentang firman Allah
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya” (QS Al-Isroo’ : 110)
“Ayat ini turun tentang perihal berdo’a”, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Demikian pula perkataan para ashaab (para ulama besar madzhab syafi’iyah-pen) bahwasanya dzikir dan do’a setelah sholat disunnahkan untuk dibaca dengan sir (pelan). Kecuali sang imam ingin mengajari orang-orang maka ia membacanya dengan keras, dan jika mereka (para makmum) telah mengetahui maka sang imam kembali membaca dengan pelan.
Al-Baihaqi dan yang lainnya berhujjah/berdalil tentang (pembacaan dzikir/doa) secara pelan dengan hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Kami bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (dalam safar), dan jika kami naik dari lembah maka kamipun bertahlil dan bertakbir. Maka keraslah suara kami, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai manusia, hendaknya kalian lembut terhadap diri kalian, sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada dzat yang tuli dan tidak hadir, sesungguhnya Allah bersama kalian Maha Mendengar dan Maha Dekat” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 3/469)
Al-Imam An-Nawawi juga berkata dalam kitabnya At-Tahqiiq:
يُنْدَبُ الذِّكْرُ وَالدُّعَاءُ عَقِبَ كُلِّ صَلاَةٍ وَيُسِرُّ بِهِ، [فَإِذَا] كَانَ إِمَاماً يُرِيْدُ تَعْلِيْمَهُمْ جَهَرَ، فَإِذَا تَعَلَّمُوْا أَسَرَّ وَيُقْبِلُ عَلَيْهِمْ
“Disunnahkan dzikir dan do’a selesai setiap sholat dan dengan sir (suara pelan), jika ia seorang imam yang ingin mengajari mereka (para makmum) maka ia mengeraskan suara, dan jika mereka telah belajar (mengerti) maka ia sir (pelan kembali) dan ia menghadap mereka” (Lihat di Makhthuth kitab At-Tahqiiq karya An-Nawawi rahimahullah, dari Maktabah Al-Azhar (silahkan download di http://www.al-mostafa.info/data/arabic/depot3/gap.php?file=m001045.pdf) lembaran ke 49, halaman sebelah kiri, baris ke 12 dan 13)
Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya :
وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ بِهِ هل الْأَوْلَى قِرَاءَةُ الْأَذْكَارِ وَالْأَدْعِيَةِ سِرًّا وَكَيْفَ كانت قِرَاءَتُهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم وإذا جَهَرَ بها في مَسْجِدٍ وَثَمَّ مُصَلُّونَ يُشَوِّشُ عليهم هل يُمْنَعُ أَمْ لَا؟
Dan Ibnu Hajar Al-Haitami –semoga Allah menjadikan beliau bermanfaat bagi kaum muslimin- tentang apakah yang lebih utama membaca dzikir dan do’a-do’a secara sir (perlahan)?, dan bagaimanakah bacaan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam?. Dan jika seseorang menjahr (mengeraskan suara) dengan dzikir dan doa di suatu masjid padahal orang-orang sedang sholat sehingga bacaan yang keras tersebut mengganggu mereka, maka apakah orang tersebut dilarang atau tidak?
Maka Ibnu Hajar Al-Haitami menjawab dengan perkataannya :
السُّنَّةُ في أَكْثَرِ الْأَدْعِيَةِ وَالْأَذْكَارِ الْإِسْرَارُ إلَّا لِمُقْتَضٍ وَعِبَارَةُ شَرْحِي لِلْعُبَابِ مع مَتْنِهِ وَيُسَنُّ الدُّعَاءُ وَالذِّكْرُ سِرًّا وَيَجْهَرُ بِهِمَا بَعْدَ السَّلَامِ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الْمَأْمُومِينَ فإذا تَعَلَّمُوا أَسَرُّوا
“Yang sunnah dalam mayoritas doa dan dzikir adalah dengan sir (pelan) kecuali kalau ada sebab tertentu. Dan ibarat syarahku (penjelasanku) terhadap kitab “al-‘Ubab” bersama matannya : “Dan disunnahkan berdoa dan berdzikir secara sir, dan imam mengeraskan dzikir dan do’a setelah salam untuk mengajari para makmum. Jika para makmum telah faham maka mereka berdzikir dan berdoa dengan pelan”
“Adapun apa yang ditunjukkan dari ibarat yang ada di kitab Raudhoh bahwasanya sunnah dalam berdzikir adalah dengan dikeraskan bukan dipelankan, maka tidaklah dimaksudkan demikian. Karena menyelisihi apa yang ada di kitabAl-Majmu’ (syarh Al-Muhadzdzab) dan kitab yang lainnya dari Nash (pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i) dan juga para ashaab (para ulama besar madzhab syafi’iyah) bahwasanya yang sunnah adalah dengan dipelankan (sir). Dari sini maka Az-Zarkasyi berkata : “Yang sunnah dalam seluruh dzikir adalah dengan dipelankan kecuali talbiyah dan bacaan qunut bagi imam, takbir tatkala malam lebaran idul fitri dan malam idul adha, dan tatkala melihat hewan-hewan ternak tatkala tanggal 10 dzulhijjah dan diantara setiap dua surat dari surat Ad-Duha hingga akhir al-Qur’an, dzikir tatkala masuk pasar (yaitu Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah dst), tatkala naik dataran tinggi dan tatkala turun dari tempat yang tinggi”
Kemudian Ibnu Hajar Al-Haitami berkata :
وَالْجَهْرُ بِحَضْرَةِ نَحْوِ مُصَلٍّ أو نَائِمٍ مَكْرُوهٌ كما في الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ وَلَعَلَّهُ حَيْثُ لم يَشْتَدَّ الْأَذَى وَإِلَّا فَيَنْبَغِي تَحْرِيمُهُ
“Dan membaca dengan keras tatkala ada orang yang sholat atau sedang tidur maka hukumnya makruh –sebagaimana dalam kitab Al-Majmuu’ dan kitab yang lainnya-. Hukum makruh ini mungkin jika gangguan (terhadap orang yang sholat dan tidur-pen) tidaklah parah, jika parah maka hukum membaca dengan keras adalah haram” (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 1/157-158)
Kesimpulan Madzhab Asy-Syafi’i (sebagaimana kita simpulkan dari perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam An-Nawawi, Az-Zarkasyi, dan Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahumullah di atas) adalah sebagai berikut :
Pertama : Yang sunnah secara asal adalah berdzikir dan berdoa dengan sir (perlahan) dan bukan dengan dikeraskan. Dzikir hanya dikeraskan jika ada dalil yang menunjukkan dikeraskannya dzikir tersebut seperti talbiyah, takbiran, dll, sebagaimana pernyataan yang tegas dari Az-Zarkasyi rahimahullah.
Tentunya hal ini bertentangan dengan praktek sebagian orang yang mengaku bermadzhab syafi’i yang menunjukkan mereka telah membalik perkaranya, sehingga di mata mereka yang sunnah asalnya adalah mengeraskan suara tatkala dzikir dan berdoa??!!
Kedua : Membaca (termasuk membaca dzikir dan doa) dengan keras jika mengganggu orang yang sedang sholat atau sedang tidur bisa hukumnya makruh atau haram jika gangguannya parah.
Karenanya merupakan perkara yang salah adalah berdzikir dan berdoa dengan paduan suara tatkala sedang thowaf di ka’bah, yang banyak diantara jama’ah yang tidak memahami makna bacaan paduan suara tersebut, dan juga mengganggu orang-orang yang lain yang sedang thowaf dan sedang konsentrasi berdzikir dan berdoa.
Ketiga : Yang sunnah adalah sang imam setelah salam adalah balik menghadap para makmum. Namun kenyataannya kebanyakan orang-orang yang mengaku bermadzhab syafi’iyah setelah salam dari sholat sang imam menghadap kiblat dan membelakangi para makmum.
Keempat : Yang sunnah asalnya adalah sang imam setelah sholat berdzikir dan berdoa dengan suara yang pelan (sir) dan tidak dikeraskan. Hanya saja boleh dikeraskan doa dan dzikir tersebut kalau tujuannya untuk mengajari para makmum. Akan tetapi jika para makmum telah mengerti maka imam kembali berdzikir dengan sir (pelan) demikian juga para makmum berdzikir dengan pelan.
Hal ini tentunya bertentangan dengan kebiasaan orang-orang yang mengaku bermadzhab syafi’iyah yang mereka senantiasa berdzikir dan berdoa setelah sholat dengan keras dan terkadang secara berjama’ah !!!
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 09-11-1434 H / 15 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com